Musik Hardcore = Violence Dance?

Rizzky Dhea Aprilia
3 min readDec 1, 2024

--

dok. pribadi

Sabtu, 23 November 2024.

Malam Minggu sangat erat kaitannya dengan waktu untuk muda-mudi memadu kasih bersama pasangan mereka atau orang-orang pergi keluar rumah untuk bertemu teman-temannya, sekadar nongkrong atau apapun itu. Pokoknya malam Minggu harus keluar rumah. Begitu pula dengan aku, daripada mati membusuk kesepian di dalam kamar indekosku yang tak seberapa ini, aku memutuskan untuk datang ke acara musik hardcore yang saat itu diselenggarakan. Pukul setengah delapan malam, aku melaju bersama fitri, motor kesayanganku yang sudah menemaniku sejak sekolah menengah atas. Aku bergerak menuju daerah Banyumanik, tepatnya di Hetero Space, tempat diselenggarakannya acara tersebut. Jujur, akhir-akhir ini aku jarang sekali datang ke acara musik hardcore. Mungkin, usia juga sebagai salah satu faktor penyebabnya.

Sesampainya di venue sudah disambut dengan pemuda-pemudi khas dengan gayanya yang ‘sangat hardcore’, topi, kaos yang kebesaran atau sering disebut oversize t-shirt, celana kargo atau baggy jeans serta sneakers, kalau ditebak usianya mungkin sekitar usia remaja yang menginjak tahun ketiga sekolah menengah pertama hingga remaja tahun ketiga sekolah menengah atas. Menurtu analisa jelek-ku, akhir-akhir ini aliran musik hardcore memang sedang banyak digandrungi pemuda-pemudi usia belasan, entahlah, pengaruh media sosial mungkin salah satu penyebabnya mengingat beberapa waktu terakhir banyak sekali lagu dari band-band hardcore yang viral di media sosial serta orang-orang beramai-ramai mengunggah dirinya sedang twostep di acara musik hardcore.

Musik dimainkan penonton mulai menunjukkan kebolehan mereka melakukan twostep, windmill, stage diving, crowd surfing dan bermacam-macam lainnya. Tak ketinggalan juga violence dance. Ya, sepertinya violence dance tidak lepas dengan musik hardcore. Tarian yang memukul secara acak orang yang berada di moshpit, sebenarnya tarian ini adalah sebagai bentuk ekspresi dalam menikmati musik keras, sama halnya dengan crowdsurfing, stage diving, dan twostep. Tapi untuk violence dance, akhir-akhir ini menurutku bagaikan sesi adu kekuatan dan kehebatan. Tak jarang yang awalnya cuma untuk bersenang-senang berakhir dengan adu jotos ‘beneran’ karena salah satu diantara mereka ada yang tidak terima atau mungkin sudah mulai melukai orang lain.

Sebenarnya masih relevan tidak sih violence dance ini di gig hardcore? Kalau menurutku pribadi, masih banyak cara lain untuk menikmati musik ini selain dengan violence dance. Bahkan band legendaris Fugazi melarang keras adanya violece dance di setiap pertunjukan mereka dan sejauh yang aku lihat dan baca di internet, pertunjukan mereka tetap menyenangkan. Menurutku hal ini adalah tanggung jawab kita sebagai pelaku dan penikmat skena musik ini. Musisi/band yang manggung setidaknya memberikan edukasi kepada penonton disetiap pertunjukan mereka. Tak perlu panjang, cukup diselipkan disela-sela penampilan. Jangan sampai niat untuk bersenang-senang dan mencari hiburan harus berakhir dengan kerusuhan. Jangan sampai moshpit yang seharusnya menjadi ruang aman bersama bagi semua yang ada di suatu pertunjukan harus berakhir bak medan pertempuran dimana satu dengan yang lain saling serang. Kalau dirasa sudah tidak kondusif, penyelenggara acara punya hak kok untuk memberhentikan acara atau mengusir penonton yang dinilai mulai membuat rusuh. Kalau bukan kita sebagai pelaku dan penikmat skena ini, lantas siapa lagi?

Mari kita ciptakan pertunjukan musik terutama hardcore yang aman dan nyaman bagi siapa saja, serta usir para jagoan dari moshpit!

--

--

No responses yet